Forum Solidaritas Mahasiswa Papua (FSM-PAPUA) dan Front Rakyat Indonesia Untuk West Papua di Kota Makassar ________________________________________________
Amolongo, Nimo, Koyao, Koha, Kinaonak, Nare, Yepmum, Dormum, Tabea Mufa, Walak, Foi Moi, Wainambe, Nayaklak Wa…wa…wa…wa…wa…wa..wa..wa..wa..wa!
“Memperingati 38 Tahun Kematian ARNOLD C AP”
Arnold Clemens Ap merupakan seorang budayawan, antropolog dan musisi yang lahir di Pulau Numfor, Biak pada 1 Juli 1945. Semenjak Tahun 1967, Arnold Clemens Ap mulai aktivitas perkulian di Jurusan Pendidikan Geografi FKIP Universitas Cenderawasih, di masa kuliah itu Arnold mulai tertarik dengan politik. Setelah lulus sarjana muda, dia bekerja sebagai kurator di museum kebudayaan kampusnya. Arnold Ap dikenal sebagai musisi dari kelompok musik “Mambesak” diambil dari bahasa Biak yang berarti burung suci yang artinya burung cendrawasih. Sebelum bernama Mambesak, namanya adalah Manyori yang berarti burung Nuri, yang eksis sejak 1970-an.
Ketika Mambesak memulai eksistensi pekerjaannya, banyak yang gagal memahami apa tujuan sejatinya. "Mungkin kamu berpikir saya ini sedang melakukan hal bodoh, tapi inilah yang saya pikir dapat saya lakukan untuk rakyat, sebelum saya mati,” demikian Arnold Ap menjelaskan sesuatu yang dapat menggambarkan semangat Papua yang mengilhami rakyatnya.
Group Mambesak mampu membangkitkan kembali kesadaran massa akan jati dirinya sebagai Bangsa Papua yang dipelopori oleh Arnold C Ap, berusaha membangun budaya pembebasan bagi rakyatnya yang tertindas dalam bidang seni sekalipun karena dominasi musik gereja dan musik melayu yang sedang melanda Tanah Papua saat itu. Arnold Ap dengan Grup Mambesaknya yang terus menggeliat di Tanah Papua membangun begitu banyak kesadaran di tingkat massa rakyat mampu membangkitkan bukan cuma kesadaran dirinya tapi juga kesadaran politik. Sehingga tak heran kalau lagu-lagu mambesak pada era tahun 80-an hingga tahun 90-an menyebar sampai ke daerah paling jauh di pedalaman Papua bahkan sampai disiarkan oleh siaran radio Papua Nugini (refrensi: George Junus Aditjondro,2000).
Pada November 1983 dia ditangkap oleh militer Indonesia Pasukan Khusus (Kophasanda) yang sekarang berganti nama menjadi Kopassus dan dipenjarakan dan disiksa untuk tersangka simpati dengan Gerakan Papua Merdeka, meski tidak ada tuduhan telah dibebankan. Pada bulan April 1984 ia dibunuh oleh tembakan ke punggungnya. Pernyataan ‘gombal’ resmi dari Pemerintah kolonial Indonesia menyatakan bahwa ia sedang berusaha melarikan diri. Tetapi ternyata Arnold Clemens Ap dieksekusi oleh Kopassus. Musisi lain, Eddie MoFu, juga tewas. Adapun juga iya menciptakan lirik menyanyikan lagu ‘’Hidup Ini Suatu Misteri’’ sebelum iya harus mati ditangan para Kopasanda.
Karena saat itu, rezim yang anti demokrasi yang bernama Soeharto melakukan pembunuhan terencana terhadap orang yang dituduh preman—dikenal sebagai ‘Operasi Penembakan Misterius’ alias petrus. Di Papua, dalam kondisi pertumbuhan gerakan politik, yang dimana Belanda yang tidak bertanggung jawab dengan tegas nasib rakyat dan bangsa Papua yang sudah – telah secara tegas menyatakan nasibnya sendiri berdiri sebagai embrio bangsa yang berakar sejak 1950-an, generasi terpelajarnya membangun kesadaran atas identitas dan persamaan nasib rakyat Papua. Ada yang bergerak dalam kebudayaan seperti Mambesak, ada yang angkat senjata seperti Seth Rumkorem dan Eliezer Awom. Militer Indonesia di Papua, yang saat itu Panglima Kodam Trikora dipegang oleh Brigjen Sembiring Meliala, mencurigai apa yang dituding sebagai “simpatisan jaringan Organisasi Papua Merdeka” di perkotaan, mencakup lingkungan kampus dan instansi pemerintah.” Meski tanpa bukti dan tak pernah mendapatkan peradilan yang jujur dan adil, Arnold Ap dituduh ke dalamnya.
Pada 30 November 1983, Arnold Ap ditahan oleh Kopassandha, elite tentara kolonial Indonesia yang kini bernama Kopassus. Pada saat yang sama, pemerintah Soeharto mengirim transmigran ke Papua, proyek pembangunan didanai oleh Uni Soviet, yang membuat orang asli Papua bertambah cemas sebagai pemilik tanah Mama mereka. Proyek ini bersamaan operasi militer bernama ‘Sate’ di perbatasan Papua Nugini–Indonesia. Dalam kesaksian para penyintas perempuan atas peristiwa di tahun-tahun itu, yang terdokumentasi secara baik oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan, tentara Indonesia membakar kampung, memperkosa gadis, menyiksa dan sebagainya. Orang Papua semakin takut ketika mendengar Arnold Ap, sosok paling terkenal saat itu ditahan. Imbasnya, pada 1984-1986, sekitar 9.435 orang Papua mengemasi nyawa dan menyeberangi perbatasan Papua ke PNG [Papua New Gunea].
Dari semua itu, ditahun 1963 hingga tahun 2004 ada 15 Operasi Militer Indonesia yang dijalankan di Papua ( baca: suarapapua.com ). Sedangkan, bentuk-bentuk operasi militer yang dipergunakan di Papua adalah merupakan operasi teritorial, operasi intelijen, dan operasi tempur. Operasi militer bertujuan untuk secara persuasif membujuk masyarakat agar mensukseskan PEPERA [Penentuan Pendapat Rakyat] dengan memenangkan Indonesia. Operasi ini dilakukan diantaranya dengan pendampingan masyarakat, sosialisasi, maupun pembangunan daerah. Operasi teritorial ini adalah operasi militer yang paling soft karena lebih menekankan pada cara-cara yang persuasif untuk menarik simpati rakyat.
Bentuk operasi lain yang biasanya dilakukan bersamaan dengan operasi teritorial adalah operasi intelijen. Operasi intelijen bertujuan untuk melakukan pemetaan atas kondisi suatu wilayah atau kelompok masyarakat, maupun untuk melakukan kalkulasi sikap dan kecenderungan sosial politik suatu wilayah atau kelompok masyarakat. Hasil dari operasi intelijen ini untuk selanjutnya akan dipergunakan untuk mengambil sebuah keputusan atau kebijakan atas suatu wilayah atau kelompok masyarakat yang dijadikan target operasi intelijen. Jika operasi intelijen menunjukkan kecenderungan suatu wilayah atau kelompok masyarakat melakukan resistensi atas kehendak penguasa, maka pilihan yang diambil adalah melancarkan operasi tempur dengan kekuatan bersenjata, baik dari satuan organik maupun kombinasi dengan pasukan non-organik.
Dari berbagai bentuk operasi militer tersebut, operasi tempur adalah yang paling sering terjadi, terutama sejak dilancarkan di era pemerintahan Soekarno melalui Komando TRIKORA [Tri Komando Rakyat] 19 Desember 1961. Operasi tempur menjadi wajah yang mendominasi wajah pemerintah Indonesia bagi rakyat Papua dan menjadi sebuah sikap politik dan kebijakan Pemerintah Kolonial Indonesia dalam memperlakukan rakyat Papua. Pemerintah Indonesia lebih memilih pengerahan kekuatan bersenjata dari pada mempergunakan pendekatan dialog yang melibatkan Persatuan Bangsa - Bangsa dalam menghadapi rakyat Papua.
Hingga sampai hari ini, situasi kondisi di Papua masih terus melakukan penyisiran hingga rakyat di Maybrat, Pegunungan Bintang, Intan Jaya, Puncak Papua dan Nduga harus mengungsi dari tanahnya sendiri. Belum lagi setelah disahkan Omnibus – law masa Jokowi – Maruf Amin membuka kran investasi di Papua dengan mengesahkan kebijakan diatas kebijakan yang melahirkan Otonomi Khusus Jilid II di Papua agar mempermudah akumulasi Kapital modal ditanah Papua. Agar akumulasi itu tetap berjalan sesuai dengan kepentingan. Maka, pemetaan terus dilakukan dengan terus didorong oleh Kolonial Indonesia dan elit borjuis Papua untuk membagi Papua menjadi 5 Wilayah Provinsi Baru. Walaupun hari ini atas nama ‘’Petisi Rakyat Papua’’ yang terdiri dari 122 Organisasi terus menggalang dengan perolehan 2 Juta suara, yang itu representasinya dari rakyat Papua, namun elit Jakarta dan Elit Papua terus mencari kesempatan dalam kesempitan untuk meloloskan semua prodak kolonial di tanah Papua.
Maka dengan itu, kami FSM-Papua dan FRI-WP Melihat bahwa; Semua produk Kolonial Indonesia yang melanggengkan penindasan yang berkepanjangan di tanah West Papua akan selesai. Jika, Kolonial Indonesia Berikan Hak Menentukan Nasib Sendiri Kepada Rakyat Papua melalui mekanisme referendum dibawa hukum Internasional. Dengan demikian, sejarah bangsa Papua Barat setelah 1969 menunjukkan bahwa hasil Pepera itu justru menjadi salah satu akar konflik yang berkepenjangan; yang menghasilkan tragedi-tragedi pembunuhan, pemerkosaan, penganiyaiyaan, perampokan oleh militer Indonesia yang berkuasa di atas tanah rakyat West Papua dalam rezim soeharto hingga pada saat kepemimpinan Jokowi saat ini masih berlangsung. Bahkan, Lagu-lagu Nasionalisme bangsa Papua Barat di bungkam secara kekerasan militer, dan orde baru Indonesia yang berlaku atas bangsa Papua Barat terus melakukan ketidak pertanggung jawaban atas beragam kasus dari dikriminasi rasial, operasi militer, UU Pasal Makar, pendoropan militer, dan beragam eksploitasi lainnya yang tidak berhentinya.
Maka dari itu, kami Forum Solidaritas Mahasiswa Papua(FSM-PAPUA) dan Front Rakyat Indonesia untuk West Papua menyatakan sikap dan menuntut bahwa:
1. Berikan Hak Menentukan Nasib Sendiri sebagai Solusi Demokratis bagi Bangsa West Papua
2. Cabut UU Otonomi Khusus Jilid II
3. Cabut Omnibus Law
4. Tolak Pemekaran DOB di seluruh tanah papua
5. Buka akses jurnalis seluas-luasnya di West Papua
6. Tarik militer organik dan non-organik dari West Papua
7. Hentikan segala bentuk diskriminasi dan intimidasi terhadap Mahasiswa West Papua di Indonesia
8. Bebaskan tahanan politik West Papua tanpa syarat
9. Tutup PT Freeport, BP, LNG Tangguh serta tolak pengembangan Blok Wabu dan eksploitasi PT Antam di Pegunungan Bintang
10. Usut tuntas pelaku penembakan dua anak di Intan Jaya
11. Tangkap, adili, dan penjarakan jenderal-jenderal pelanggar HAM
12. Hentikan rasisme dan politik rasial yang dilakukan Pemerintah Republik Indonesia dan TNI-Polri terhadap Mahasiwa dan rakyat West Papua
13. Hentikan operasi militer di Nduga, Intan Jaya, Puncak Jaya, Puncak Papua, Pegunungan Bintang, Maybrat, dan Seluruh Wilayah West Papua lainnya
14. PBB harus bertanggung jawab serta terlibat aktif secara adil dan demokratis dalam proses menentukan nasib sendiri, pelurusan sejarah, dan penyelesaian pelanggaran HAM yang terjadi terhadap bangsa West Papua
15. Mendesak Pemerintah RI untuk memberikan akses seluas-luasnya kepada Komisi HAM PBB untuk meninjau situasi HAM di West Papua secara langsung
16. Buka Jaminan kebebasan informasi, berekspresi, berorganisasi dan berpendapat bagi bangsa West Papua
Demikian pernyataan sikap ini dibuat, atas dukungan, partisipasi dan kerjasama perjuangan oleh semua pihak, kami ucapkan banyak terima kasih.
Salam Demokrasi!
Medan juang.
Asrama kamasan IV Makassar , 26 April 2022
0 Comments