Kulit kami gelap, rambut kami keriting, dan cara hidup kami sejak dulu hingga kini sangat mirip. Masyarakat asli Afrika dan Papua memiliki pola permukiman dan gaya hidup yang seirama, seolah kami berasal dari akar yang sama, hanya dipisahkan oleh bentangan bumi.
Kami adalah satu, yang terpisah secara alamiah.
Tapi ada yang perlu dipertanyakan:
Mengapa anak-anak Papua dipaksa mempelajari sejarah kerajaan-kerajaan yang tidak pernah menjadi bagian dari realitas leluhur kami?
Papua tidak mengenal sistem kerajaan.
Tidak ada Sriwijaya, tidak ada Majapahit, tidak ada Mataram Kuno dalam jejak sejarah budaya kami. Bukan karena kami tertinggal, tapi karena kami punya sistem sendiri yaitu sistem klan, nilai gotong royong, adat yang kuat, dan cara pandang dunia yang unik.
Maka mengapa kurikulum sejarah nasional justru memaksakan narasi Melayu?
Mengapa sejarah Melanesia dan Oceania tidak mendapat tempat penting di ruang kelas di tanah Papua?
Saatnya berpikir jernih. Ini bukan isu politik. Ini panggilan dari sudut pandang antropologi.
Anak-anak Papua berhak mengenal sejarahnya sendiri.
Mereka berhak tahu siapa mereka, dari mana mereka berasal, dan bagaimana leluhur mereka hidup dengan cara yang bermartabat, meski tak mengenal mahkota atau istana.
Kita butuh sejarah yang merepresentasikan diri kita.
Bukan sejarah yang memaksakan identitas orang lain atas kami.
Mari kita buka mata, dan buka buku sejarah yang benar.
Bukan untuk membenci, tapi untuk memahami dan memuliakan jati diri.
#SejarahPapuaAsli
#MelanesiaBangkit
#PapuaPunyaCerita
#HapusSejarahPaksaan
#IdentitasMelanesia
0 Comments